Nikah memang punya banyak makna. Ia bisa berarti menegakkan sunnah
Rasul. Bisa juga sebagai pemenuhan tuntutan fitrah. Juga, sebagai
penyambung keberlangsungan hidup umat manusia. Ada hal lain buat mereka
yang nikah di usia muda. Nikah juga bermakna perjuangan.
Hampir tak satu pun manusia yang betah membujang. Selalu saja ada
hasrat untuk hidup berpasangan. Pria rindu ingin bersama wanita. Dan
wanita kangen disayang pria. Hasrat-hasrat alami itu akan punya nilai
tinggi dalam taman indah yang bernama nikah.
Masalahnya, bagaimana keindahan taman itu jika ikatannya terjalin di
saat muda. Muda usia, muda pengalaman, muda pendidikan, dan muda
penghasilan. Saat itulah terjadi pertarungan yang lumayan sengit:
antara idealita dengan realita. Antara cita-cita tinggi dengan
kenyataan hidup yang mesti dilakoni. Dan pertarungan itulah yang kini
dialami Jaka.
Dua tahun sudah calon bapak ini mengarungi bahtera rumah tangganya.
Seribu satu suka dan duka ia nikmati bersama isteri tercintanya. Kadang
ia berkesimpulan bahwa nikah itu anugerah indah. Sedemikian indahnya,
sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Tapi, tak jarang kesimpulan
sebaliknya bisa hinggap. Jaka juga kerap berkesimpulan bahwa nikah
merupakan perjuangan yang teramat berat.
Awalnya, bayang-bayang indah pernikahan lebih dominan dari
perjuangannya. Walau baru setahun lulus sekolah menengah atas, Jaka
sudah punya tekad bulat: “Saya harus nikah, insya Allah!” Dan, tekad
itu benar-benar menggulir walau mesti melalui rel yang tidak mulus.
Mungkin, banyak pihak di sekitar Jaka yang geleng-geleng kepala. Ada
apa dengan anak ini? Apa ia tergolong hiper seks. Atau, jangan-jangan
sudah terjadi kecelakaan. Atau…? Masih banyak lagi dugaan yang tidak
enak didengar oleh seorang Jaka yang juga aktivis rohis di sekolahnya.
Dan yang tidak kalah sengitnya adalah orang tua Jaka sendiri. Ayah
ibunya bingung. Kok, anak saya jadi begini. Apa ini pengaruh dari
ajaran rohis? Orang tua Jaka yakin seratus persen kalau Jaka tidak
mungkin melakukan penyimpangan. Jangankan hubungan gelap, hubungan
terang saja tak pernah diperlihatkan Jaka. Boro-boro dua-duaan, ketemu
wanita saja Jaka sudah alergi: pandangannya tertunduk, wajahnya pucat,
tubuhnya banjir keringat. Lalu?
“Saya bertekad nikah karena ingin segera dapat surga dunia dan
akhirat,” jawab Jaka tenang. Kontan saja, kedua orang tua Jaka
tertegun. Hampir tak ada celah buat menjegal tekad Jaka. Sejak SMP,
Jaka memang sudah rajin dagang. Ia memang bukan tipe anak yang suka
berlidung di balik kantong orang tua. Semua biaya sekolahnya hampir
seratus persen mengucur dari kocek sederhananya. Termasuk, biaya buat
walimahan.
Saat itu, tak ada bayang-bayang pun yang melintas di benak Jaka
kecuali keindahan. Betapa sejuknya hati ketika menatap senyum isteri.
Betapa semangatnya hidup ketika cinta tak pernah redup. Betapa
tenangnya pandangan mata ketika syahwat tak lagi terpenjara. Dan,
betapa mantapnya iman ketika nafsu tak lagi gampang dipermainkan setan.
Berlangsunglah masa-masa indah kehidupan Jaka. Hari berganti hari
dan bulan pun menjumpai tahun. Ternyata, hidup tak selamanya penuh
pesona wewangian taman bunga. Ada kalanya hidup penuh bara api dan asap
tebal yang menyesakkan. Idealita sering tak cocok dengan realita. Dan
nada-nada itulah yang kini bersenandung mengiringi keluarga Jaka.
Bisnis serabutannya tak lagi lancar seperti dulu. Ada saja
masalahnya. Madu yang biasa dilakoni Jaka kurang diminati pelanggan.
Pedagang koran pun mulai bertebaran. Kian banyak saingan di sektor ini.
Sementara, biaya kuliahnya kian naik. Biaya kontrak rumah pun mulai
melonjak. Isteri mulai ngidam. Tubuhnya lemas, perutnya mual-mual,
kepalanya sering pusing-pusing. Tentu saja, sang isteri tak lagi
sempurna menunaikan urusan rumah tangga dan kampus. Apalagi mencari
penghasilan sampingan.
Mulailah irama ketidakstabilan mengiringi hidup Jaka. Konflik pun
kian bermunculan. Seperti saat ini saja, Jaka bingung mau pinjam duit
ke siapa lagi. Bulan lalu sudah pinjam ke teman kampus. Minggu lalu
pinjam ke teman pengajian. Sementara, kebutuhan terus mengalir dan tak
kenal penundaan. Ke orang tua?
Ini yang paling dijaga Jaka. Seberat apa pun beban hidup, Jaka tak
mau berurusan dengan orang tua. Ia bukan ragu tentang kemurahan orang
tuanya. Bukan juga takut. Tapi, Jaka tak mau kalau idealismenya luntur
hanya karena soal makan. Terlebih setelah Jaka janji tak mau ngerepotin
orang tua.
Kadang, suasana kejepit seperti itu menumbuhkan bayang-bayang masa
lalu. “Kamu yakin nggak akan menyesal, Jaka?” pertanyaan-pertanyaan
ibunya dua tahun lalu tak jarang menggoda ketegarannya. Kenapa nggak
selesai kuliah dulu. Kenapa nggak cari kerja yang enak dulu.Kenapa
nggak beli rumah dulu.
“Benarkah saya menempuh rute jalan yang salah?” sebuah pertanyaan
menukik tajam ke lubuk hati Jaka. Ah, benarkah? Sikap tegar Jaka kian
sengit bertarung dengan kegelisahannya. Kadang tegar menguasai keadaan.
Dan tak jarang, gelisah menyetir suasana. Dalam pertarungan imbang itu,
sikap kritis Jaka kerap menjadi penengah. Mestikah roda hidup selalu
bergulir secara seri dan linier? Tidakkah mungkin ada lompatan-lompatan?
Ketegarannya mulai menguasai keadaan. Masih kuat dalam benak Jaka
kisah teladan Rasul dan para sahabat. Sebuah fragmen hidup masa lalu
yang tak kunjung kering dari air pelajaran. Siapa yang mengira kalau
seorang penggembala yatim bisa menjadi pemimpin besar umat ini. Siapa
yang menyangka kalau seorang budak, Bilal bin Rabbah, bisa tampil
menjadi pemimpin yang disegani. Siapa yang menyana kalau seorang budak
buangan, Zaid bin Haritsah, bisa melahirkan seorang panglima perang
yang ditakuti.
Hidup memang perjuangan. Suka dan duka pasti akan menjambangi setiap
manusia. Tak peduli apakah manusia itu menganggap hidup sebagai
perjuangan atau tempat bersantai. Jaka tersadar dengan keadaannya.
Kini, bukan saatnya lagi mempersoalkan halte hidup yang telah
terlewati. Ada dua resep yang akan ditebus Jaka: hadapi hidup apa
adanya, dan jangan coba-coba lari dari kenyataan perjuangan.
Kesusahan dan kemudahan tak ubahnya seperti dua muka kepingan uang
logam. Satu sama lain tak akan berpisah jauh. Bersama kesusahan ada
kemudahan. Sungguh, bersama kesusahan ada kemudahan. Kesusahanlah yang
menguatkan bahwa menikah itu perjuangan. Dan kemudahan, insya Allah,
kian menguatkan warna-warni indahnya pernikahan.
sumber : era muslim